Mitigasi Bencana
Krisis Kegagalan Komunikasi Bencana di Sumatera: Saat Sosmed Lebih Dipercaya Dibanding Komunikasi Pemerintah
Nyaris setiap akhir tahun, Sumatera kembali harus menghadapi kenyataan pahit: meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi. Hujan ekstrem, kondisi tanah yang jenuh air, Banjir, longsor, hingga potensi pergerakan tanah muncul bergantian, meninggalkan kerusakan fisik dan trauma bagi warga. Namun, di balik kerugian yang terlihat oleh mata, ada satu masalah lain yang sering kali tidak pernah dibicarakan dengan serius—kegagalan komunikasi bencana.
Masalah ini bukan sekadar soal keterlambatan update, tetapi menyangkut kredibilitas negara dalam menyampaikan arahan yang cepat, jelas, dan meyakinkan kepada publik. Ketika jalur komunikasi terganggu, ketidakpastian meningkat, pada titik ini, keselamatan warga menjadi taruhannya.
Artikel ini membahas bagaimana krisis komunikasi yang berulang di Sumatera mencerminkan problem struktural yang lebih dalam.
Mulai dari koordinasi antar instansi, respons digital, hingga penyampaian empati yang nyaris hilang dalam komunikasi resmi. Analisis ini berfokus pada akurasi data umum, pola nasional, serta praktik ideal mitigasi bencana.
1. Bencana Hidrometeorologi yang Berulang: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Secara geografis dan klimatologis, Sumatera memang berada pada jalur wilayah rawan bencana. Curah hujan tinggi, sisipan patahan aktif, hingga kontur tanah yang rentan longsor membuat provinsi-provinsi di pulau ini harus terus berada dalam keadaan siaga—terutama antara November hingga Februari ketika intensitas hujan mencapai puncak.
Namun, ada faktor lain yang memperburuk dampaknya:
- Degradasi tutupan lahan yang mempercepat limpasan air
- Permukiman yang semakin mendekati bantaran sungai
- Sistem drainase kota yang tidak mampu menampung debit air ekstrem
- Perubahan pola cuaca regional yang kini lebih sulit diprediksi
Semua ini menjadikan banjir dan longsor bukan lagi sekadar kejadian alam, tetapi rangkaian risiko yang seharusnya bisa dikelola dengan lebih baik melalui komunikasi dan mitigasi yang terstruktur.
2. Kegagalan Komunikasi Bencana: Ketika Informasi Terlambat Menyentuh Warga
Dalam situasi krisis, informasi seharusnya bergerak lebih cepat daripada air bah yang menerjang. Namun, kondisi yang terjadi di lapangan seringkali menunjukkan arah sebaliknya. Arus informasi berjalan lambat, tersendat birokrasi, dan terjebak dalam pola koordinasi lama yang kaku.
Ada beberapa masalah mendasar yang kerap muncul:
a. Multi-instansi, multi-narasi
Dalam penanganan bencana, ada banyak institusi yang memiliki kewenangan:
• pemerintah daerah,
• dinas teknis,
• unit jalan nasional,
• instansi vertikal,
• hingga unsur keamanan.
Ketika semua pihak berbicara tanpa satu komando yang seragam, pada akhirnya publik menerima informasi yang tumpang tindih.
b. Minimnya informasi teknis yang bisa dipahami
Banyak rilis resmi hanya memberikan data kuantitatif—debit air, status sungai, jumlah pengungsi—tetapi tidak menjawab pertanyaan yang paling dibutuhkan warga:
“Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Apakah jalur evakuasi aman?”
“Apakah wilayah saya terancam?”
c. Informasi lokal yang tidak segera naik ke pusat
Seringkali, laporan awal dari desa atau kecamatan membutuhkan waktu sebelum mencapai publik. Padahal, menit-menit pertama sangat menentukan dalam upaya evakuasi dini.
Masalah-masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi menunjukkan bahwa komunikasi bencana belum sepenuhnya dipandang sebagai komponen utama penanganan krisis—padahal seharusnya berada di pusat koordinasi.
3. Era Digital dan Kesenjangan Kecepatan Informasi
Ketika bencana terjadi di Sumatera, video amatir seringkali menyebar lebih cepat daripada imbauan resmi pemerintah. Ini bukan fenomena baru, tetapi semakin terasa di era di mana unggahan 10 detik bisa menjangkau jutaan orang hanya dalam hitungan menit.
a. Netizen lebih cepat daripada pemerintah
Warga setempat memiliki kamera, sinyal, dan refleks instan untuk merekam kejadian. Ini membuat mereka menjadi narasumber pertama yang diakses publik nasional—bahkan dunia.
Sayangnya, informasi cepat tidak selalu akurat. Tanpa konteks, sebuah video banjir dapat memicu kepanikan wilayah yang sebenarnya berada jauh dari pusat kejadian.
b. Pemerintah masih terlalu reaktif
Sebagian besar kanal resmi pemerintah masih mengandalkan pola lama:
- menunggu laporan lengkap,
- menunggu persetujuan pimpinan,
- menunggu rilis pers difinalisasi.
Sayangnya, algoritma media sosial tidak menunggu.
Ketika narasi resmi baru dirilis dua jam setelah kejadian, publik sudah membentuk persepsi sendiri berdasarkan potongan video acak yang beredar.
c. Kekosongan informasi diisi oleh spekulasi
Inilah bahaya terbesar dalam krisis.
Ketika ruang informasi kosong, orang mengisinya dengan:
- asumsi pribadi,
- potongan informasi tanpa verifikasi,
- hingga isu sensasional yang lebih “ramai” secara algoritmik.
Pada kondisi seperti ini, kredibilitas pemerintah diuji. Dan ketika kepercayaan publik turun, efektivitas mitigasi pun ikut melemah.
4. Komunikasi Publik yang Kurang Mengedepankan Empati
Data penting, tetapi data tidak selalu menenangkan. Komunikasi bencana bukan hanya tentang berapa jumlah tenda, berapa ton bantuan, atau berapa panjang jalan yang rusak. Warga yang kehilangan rumah, akses listrik, atau anggota keluarga membutuhkan lebih dari sekedar angka—mereka membutuhkan validasi emosional!
a. Bahasa teknis yang terlalu kering
Pernyataan resmi sering memakai istilah teknokratik yang sulit dipahami masyarakat awam. Ini membuat pesan penting terasa sangat jauh dan terkesan tidak manusiawi.
b. Minimnya narasi penguatan psikologis
Dalam bencana, ketakutan dan kecemasan sering kali lebih melumpuhkan daripada kerusakan fisik. Namun, tidak banyak komunikasi yang diarahkan untuk menenangkan emosi warga.
c. Empati sebagai bagian dari mitigasi
Penelitian global menunjukkan bahwa kepercayaan publik meningkat ketika pejabat memberikan pesan yang:
- mengakui penderitaan warga,
- menunjukan solidaritas,
- dan memberikan harapan berbasis data.
Sayangnya, elemen ini masih jarang muncul dalam narasi resmi kita.
5. Solusi: Membangun Sistem Komunikasi Bencana yang Lebih Responsif
Untuk menghindari krisis komunikasi berulang, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah daerah maupun pusat:
a. Membentuk Crisis Communication Center lintas instansi
Dengan satu suara, satu komando, dan satu kanal utama, potensi informasi tumpang tindih dapat ditekan secara signifikan.
b. Menguatkan kehadiran digital real-time
Termasuk:
- update cepat via media sosial,
- visualisasi data interaktif,
- pesan singkat berbasis peta risiko lokal,
- dan peringatan cepat melalui kanal populer seperti WhatsApp dan Telegram.
c. Pelatihan komunikasi krisis untuk pejabat publik
Tidak semua orang bisa berbicara di depan publik dalam kondisi darurat. Pelatihan ini meningkatkan kualitas pesan, bahasa tubuh, dan struktur narasi.
d. Kemitraan dengan media lokal, relawan dan komunitas digital
Warga lokal adalah garda terdepan informasi. Melibatkan mereka secara terstruktur dapat meningkatkan akurasi dan kecepatan distribusi data.
e. Menyisipkan empati dalam setiap pernyataan resmi
Pesan empatik tidak membuat pejabat terlihat lemah—justru meningkatkan legitimasi dan kepercayaan.
6. Ketika Informasi Menjadi Penyelamat Nyawa
Bencana alam adalah sesuatu yang sulit dihindari, terutama di wilayah seperti Sumatera. Namun, kerusakan yang ditimbulkannya bisa diminimalkan jika informasi mengalir dengan cepat, jelas, dan dapat dipercaya.
IDERU mendorong pemerintah untuk segera lebih fokus pada masalah komunikasi publik ini, sudah waktunya Indonesia menerapkan satu command centre yang jelas dan terarah, agar semua pihak bisa berada dalam satu komando yang jelas.
Krisis komunikasi bukan sekadar masalah citra pemerintah. Ini menyangkut keselamatan warga. Koordinasi yang lamban, narasi yang tumpang tindih, dan kehadiran digital yang tertinggal dari kecepatan publik adalah tantangan besar yang harus segera dibenahi.
Jika negara ingin membangun ketahanan bencana yang kuat, maka memperkuat komunikasi publik bukan lagi sebuah pilihan—tetapi sudah merupakan kewajiban!
Irvan Nugraha (00-003)
Editor in Chief – IDERU News.

Rizal Falashi
09/12/2025 at 12:11 pm
Artikel yang sangat-sangat menarik sesuai dengan kondisi saat ini.
Ideru.Official
09/12/2025 at 12:17 pm
Terima kasih bang Rizal sudah berkenan mampir.
Ide, saran maupun kritik yang membangun, senantiasa kami harapkan, salam lestari.