Mitigasi Bencana

90 Hari Pertama Pasca Bencana: Apa yang harus dilakukan?

Published

on

Tidak ada satu pun sirene atau pengumuman resmi pada hari itu. Tidak ada headline besar yang menandai awal runtuhnya dunia kecil kami. Yang ada hanyalah listrik yang padam, sinyal yang hilang, dan suara kota yang mendadak terasa asing. Bagi banyak orang, itu hanya gangguan sesaat. Namun tidak bagi kami yang menjalaninya — hari itu menandai awal dari 90 hari pertama pasca bencana, apa yang mengubah cara kami memandang hidup, kemanusiaan, dan kebersamaan.

Artikel ini adalah sebuah kisah yang lahir dari perpaduan pengalaman, pengamatan, dan refleksi mendalam dari kami yang pernah mengalaminya langsung.

Sebuah kisah yang dituangkan kembali secara utuh agar dapat menjadi pembelajaran bagi siapa pun, khususnya para relawan, lembaga kemanusiaan, dan masyarakat yang ingin memperkuat kapasitas kesiapsiagaan bencana.

Dalam dunia kebencanaan, kita sering bicara tentang mitigasi, respon, dan pemulihan. Namun di balik semua istilah itu, ada cerita manusia — tentang ketakutan, harapan, solidaritas, dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Dan ini adalah salah satunya.


Hari Pertama: Ketika Dunia Mendadak Hening

Hari pertama selalu menjadi hari yang paling membingungkan.

Awalnya kami mengira semuanya akan kembali normal dalam beberapa jam. Listrik padam? Sudah biasa. Air mati? Kadang terjadi. Sinyal hilang? Ya, mungkin towernya masih bermasalah.

Tapi ketika hari berubah menjadi malam dan tak ada satu pun yang membaik, perlahan kami mulai menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi.

Tidak ada berita. Tidak ada pemberitahuan resmi. Tidak ada sistem peringatan dini.
Yang ada hanya ketidakpastian total — ini adalah kondisi yang paling mematikan dalam setiap krisis.

Di sinilah kami pertama kali merasakan betapa rapuhnya hidup modern.
Hal-hal yang dulu terasa sepele — air keran yang mengalir, lampu yang menyala, toko yang buka — mendadak menjadi sesuatu yang tidak bisa kami andalkan.

Dan untuk pertama kalinya, kami bertanya:

“Duh gimana ya kalau ini tidak segera selesai?”

Hari-Hari Awal: Ketika Panik Menjadi Musuh Terbesar

Dalam setiap bencana, ada satu pola yang hampir selalu sama:
pada hari-hari awal, kepanikan lebih merusak daripada bencananya itu sendiri.

Orang-orang berbondong-bondong mencari makanan.
Air kemasan hilang dari rak dalam hitungan menit.
Ada yang memutuskan untuk mengungsi, ada yang tetap tinggal sambil berharap keadaan segera pulih.

Tapi pelajaran pertama muncul begitu cepat:

Kebingungan bisa membuat orang melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya!

Dan di tengah kerumunan orang yang panik dan berlarian, kami menyadari sesuatu yang jauh lebih penting:
bertahan hidup bukan soal menjadi kuat… tapi soal menjadi tenang.

Kami mulai mengumpulkan anggota keluarga, menyalakan lilin seadanya, dan mulai menghitung apa yang kami punya:

  • 4 botol air kemasan
  • beras untuk 3–4 hari
  • mie instan
  • beberapa makanan kaleng
  • obat-obatan dasar
  • korek api, lilin, baterai
  • dan sebuah rumah yang masih utuh

Tidak banyak. Tapi cukup untuk memulai langkah pertama kami: menerima kenyataan bahwa situasi ini tidak bisa dianggap enteng!


Minggu Pertama: Kesadaran Bahwa Kebutuhan Dasar Adalah Segalanya

Di sekolah atau seminar kebencanaan, kita sering mendengar tentang “kebutuhan dasar hidup”:
air — makanan — tempat berlindung.

Namun baru ketika krisis benar-benar terjadi, kami baru mulai memahami, betapa berharganya ketiga hal tersebut.

Air yang dulu hanya tinggal putar keran, kini menjadi komoditas paling berharga.
Makanan yang dulunya sering terbuang, kini menjadi penentu apakah kami bisa bertahan esok hari.

Kami mulai memetakan sumber air yang ada di sekitar kami: sumur, tandon tua yang belum terkontaminasi, bahkan air hujan jika terpaksa.

Pada titik ini, kami mulai belajar bahwa:

Air ternyata bukan hanya sekedar kebutuhan; air adalah modal dasar kehidupan itu sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, sekarang kami mulai benar-benar menghargai setiap tetesnya.


Minggu Kedua — Ketiga: Mengelola Harapan, Mengelola Kecemasan

Ketika hari-hari terasa panjang dan malam-malam semakin sunyi, tantangan baru mulai muncul —
kesehatan mental.

Kami mulai melihat perubahan pada wajah dan sikap orang-orang di sekitar kami:

  • yang biasanya optimis menjadi mudah marah
  • yang pendiam menjadi gelisah
  • yang kuat menjadi tampak letih
  • yang dulu saling mengenal menjadi semakin menjaga jarak

Tidak ada informasi yang jelas — dan itulah yang membuat kecemasan justru tumbuh lebih cepat daripada kelaparan.

Pada titik inilah kami semakin menyadari bahwa:

Dalam krisis, perubahan kesehatan mental, bisa drop jauh lebih cepat daripada fisik.

Untuk menjaga kewarasan, kami mulai membuat rutinitas baru:

  • bangun pada jam yang sama
  • membersihkan rumah dan halaman
  • mengatur jatah makanan dengan disiplin
  • menjaga komunikasi antar tetangga tanpa rumor atau gosip
  • berkumpul setiap sore untuk saling menguatkan

Iya cuma hal-hal kecil, memang. Tetapi justru itulah yang menahan kami untuk tidak jatuh dan tetap bersemangat.


Hari ke-30: Ketika Komunitas Menjadi Sumber Kekuatan

Setelah sebulan berlalu, satu kesadaran besar mulai muncul:

Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan sendirian.

Pada hari ke-31, salah satu tetangga kami mengetuk pintu sambil membawa beberapa liter air. Ia mengatakan bahwa sumber airnya masih aman. Sebagai gantinya, ia meminta sedikit beras karena persediaannya hampir habis.

Hari itu, barter pertama kami terjadi.
Dan entah bagaimana, barter sederhana itu menjadi awal terbentuknya sebuah komunitas kecil yang pada akhirnya menyelamatkan kami semua.

Dalam waktu beberapa hari:

  • kami membuat jadwal giliran menjaga lingkungan
  • kami berbagi sumber makanan
  • kami mengecek lansia dan keluarga dengan anak kecil
  • kami membuat dapur kecil bersama
  • kami menyampaikan informasi yang benar dan terverifikasi
  • kami melarang desas-desus atau informasi palsu

Ketika manusia bersatu, perlahan krisis akan terasa sedikit lebih ringan.


Hari ke-45 hingga ke-60: Adaptasi Mulai Menjadi Kebiasaan

Pada titik ini, hal-hal yang dulu terasa “darurat” kini menjadi “rutinitas baru”.

Kami belajar:

  • memasak makanan sederhana dengan bahan terbatas
  • memanen tanaman liar yang aman dikonsumsi
  • memurnikan air dengan cara tradisional
  • mengatasi luka kecil tanpa dokter
  • menghemat energi fisik
  • berkomunikasi tanpa teknologi

Dan yang paling mengejutkan adalah:

Kami semua menjadi lebih kreatif daripada sebelumnya.

Ada yang membuat alat pemanas sederhana dari kaleng.
Ada yang membuat filter air dari arang.
Ada yang menciptakan sistem alarm darurat menggunakan kaleng dan tali.

Saat terjadi krisis bencana, kami akhirnya menyadari, manusia mulai menemukan dan mengembangkan kembali kecerdasannya.


Hari ke-60 hingga ke-90: Tumbuhnya Ketangguhan Baru

Menjelang hari ke-70, kami mulai menyadari bahwa apa yang kami lakukan bukan lagi tentang “bertahan”…
tetapi tentang menata ulang cara hidup.

Krisis tidak lagi menjadi pusat perhatian.
Yang menjadi pusat perhatian adalah:

  • bagaimana memastikan keberlanjutan
  • bagaimana membangun kembali stabilitas
  • bagaimana saling menguatkan untuk jangka panjang

Pada titik ini, kami belajar tiga hal:

1. Yang kuat bukan yang paling mampu fisik, tetapi yang paling mampu beradaptasi.
2. Kebersamaan jauh lebih bernilai daripada persediaan pangan.
3. Harapan adalah bensin terakhir yang tidak boleh habis.

Dan ketika perlahan bantuan mulai datang dari luar — institusi pemerintah, organisasi kemanusiaan, relawan, komunitas — kami tersadar bahwa kami ternyata tidak sendirian.


Pelajaran Untuk Kemanusiaan: Apa yang Sebenarnya Menyelamatkan Kami

Dari pengalaman panjang ini, ada banyak pelajaran yang bisa diambil — terutama untuk lembaga kemanusiaan, relawan, dan masyarakat di seluruh Indonesia.

1. Edukasi kesiapsiagaan memang harus dimulai sebelum bencana terjadi.

Karena ketika bencana datang, sudah terlambat untuk belajar dasar-dasarnya.

2. Komunitas lokal adalah garda terdepan respon darurat.

Sebelum relawan tiba, merekalah yang akan menjaga satu sama lain.

3. Kesehatan mental sama pentingnya dengan logistik.

Tanpa ketenangan, orang tidak akan bisa mengambil keputusan yang benar.

4. Adaptasi dan kreativitas adalah aset terbesar manusia.

Di tengah keterbatasan, manusia bisa menemukan cara baru untuk bertahan.

5. Solidaritas adalah jantung kemanusiaan.

Tanpa saling bantu, tidak ada yang bisa melewati 90 hari pertama itu.


Penutup:

90 Hari Pertama Pasca Bencana — dan Bagaimana Kita Bisa Lebih Siap.

Kini ketika menengok kembali perjalanan itu, kami tersadar:
yang membuat kami bertahan bukanlah logistik, bukan fisik, bahkan juga bukan strategi.

Yang membuat kami bertahan adalah:
kesadaran bahwa hidup harus dijalani bersama-sama.

Dan inilah pesan terpenting yang ingin kami sampaikan kepada siapa pun yang membaca ini — relawan, masyarakat, atau siapa pun yang peduli pada kemanusiaan:

Krisis terbesar sekalipun bisa dihadapi, jika kita tetap tenang, tetap bersama, dan tetap manusia!


 

Irvan Nugraha (00-003)
Editor in Chief IDERU News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version