Mitigasi Bencana

Trauma Psikologis Para Penyintas: Sering Terlihat… tapi Tidak Pernah Dibahas

Published

on

 

Ketika sebuah bencana datang—entah itu gempa, banjir, longsor, angin puting beliung, atau erupsi gunung—kita langsung membayangkan kerusakan fisik: rumah hancur, barang-barang hilang, dan infrastruktur lumpuh. Namun, di balik reruntuhan itu, ada dampak lain yang jauh lebih sunyi tapi tidak kalah berat: trauma psikologis para penyintas. Luka ini tidak bisa direkam kamera, tidak bisa dihitung seperti kerugian materi, dan sering kali tidak sempat dibahas karena semua orang sibuk bertahan.

Padahal, trauma penyintas bisa mengubah hidup seseorang dalam jangka panjang. Ia memengaruhi kemampuan berpikir, merusak hubungan sosial, menurunkan semangat hidup, bahkan memengaruhi arah masa depan mereka.

Ironisnya, meski trauma ini jelas terlihat pada perilaku dan emosi penyintas, ia tetap menjadi hal yang “sering terlihat… tapi tidak pernah benar-benar dibahas.”

Artikel ini menggali penyebab trauma penyintas, bagaimana gejalanya, dampak jangka panjangnya, dan apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu mereka pulih secara psikologis.


1. Apa Itu Trauma Penyintas? Luka yang Tidak Berdarah

Trauma penyintas adalah reaksi psikologis yang muncul setelah seseorang mengalami kejadian ekstrem yang mengancam keselamatan dirinya atau orang-orang terdekatnya.

Karena bencana tuh seringnya datang tiba-tiba dan penuh ketidakpastian, otak penyintas sering tidak sempat memproses kejadian tersebut secara normal. Akibatnya, tubuh dan pikiran tetap berada dalam mode siaga.

Beberapa bentuk trauma yang umum dialami penyintas antara lain:

1.1 Flashback dan ingatan intrusif

Tiba-tiba kejadian bencana muncul kembali dalam kepala secara sangat jelas, seolah-olah kejadian itu terulang di depan mata.

1.2 Hypervigilance (waspada berlebihan)

Sedikit suara keras bisa membuat mereka panik. Jantung berdegup kencang, tubuh menegang, dan pikiran langsung membayangkan skenario terburuk.

1.3 Rasa bersalah karena selamat (survivor’s guilt)

Penyintas merasa “harusnya aku yang tidak selamat,” atau merasa bersalah melihat orang lain kehilangan lebih banyak.

1.4 Gangguan tidur dan mimpi buruk

Insomnia, night terror, mimpi berulang tentang bencana, atau takut tidur sendirian.

1.5 Ketidakmampuan merasakan emosi

Beberapa penyintas tiba-tiba menjadi datar, seperti tidak punya perasaan. Ini adalah bentuk mekanisme bertahan hidup.

1.6 Kecemasan dan serangan panik

Tubuh merespons ancaman yang sebenarnya sudah tidak ada.

1.7 Masalah fisik akibat stres

Sakit kepala, tremor, gangguan pencernaan, dan mudah lelah.

Dari luar, gejala-gejala ini tampak jelas. Tapi sayangnya, banyak yang menganggap hal itu “biasa saja.”


2. Kenapa Trauma Penyintas Sering Tidak Dibahas?

Meski gejala trauma itu terlihat, banyak penyintas memilih diam. Ada banyak alasan kenapa hal ini jarang menjadi prioritas dalam fase penanganan bencana.

2.1 Budaya ‘harus kuat’

Banyak masyarakat Indonesia tumbuh dengan pola pikir bahwa kesedihan harus disembunyikan. Akhirnya, penyintas merasa mereka tidak boleh tampak lemah.

2.2 Fokus bantuan pada kebutuhan fisik

Pada fase awal bencana, memang benar bahwa prioritas utama adalah makanan, air, tempat tinggal, dan kesehatan fisik. Namun sering kali, fase psikologis tenggelam dan tidak dianggap mendesak.

2.3 Kurangnya pemahaman tentang gangguan psikologis

Banyak penyintas yang tidak tahu bahwa kecemasan yang mereka rasakan adalah bagian dari trauma.

2.4 Stigma terhadap kesehatan mental

Di beberapa daerah, membicarakan perasaan dianggap sebagai tanda kelemahan.

2.5 Relawan tidak selalu mendapat pelatihan psikososial

Di Indonesia, masih banyak respon bencana yang hanya fokus pada logistik, tetapi tidak pada mental health support.

Padahal, tanpa penanganan yang tepat, trauma seperti ini bisa berubah menjadi kondisi yang lebih serius seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

IDERU memandang Pelatihan Psikososial sama pentingnya dengan pelatihan mitigasi kebencanaan lainnya.


3. Dampak Jangka Panjang Trauma: Ketika Bencana Sudah Usai, Tapi Lukanya Tidak

Salah satu hal paling penting untuk dipahami adalah bahwa bencana bisa selesai dalam hitungan menit, tapi trauma bisa menetap selama bertahun-tahun.

Berikut adalah dampak jangka panjang yang sering dialami penyintas:

3.1 Ketakutan berulang

Penyintas bisa panik setiap kali mendengar sirene, hujan deras, atau getaran kecil.

3.2 Penurunan kemampuan kerja dan belajar

Sulit fokus, mudah lelah, dan pikiran sering tersita oleh ingatan bencana.

3.3 Menurunnya interaksi sosial

Beberapa penyintas menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak aman.

3.4 Kemunculan perilaku menghindar

Tidak mau kembali ke rumah atau tempat yang terkait dengan kejadian bencana.

3.5 Depresi

Rasa sedih mendalam, kelelahan emosional, atau kehilangan harapan.

3.6 Gangguan pada anak-anak

Anak adalah kelompok yang paling rentan. Mereka bisa mengalami:

  • kembali mengompol
  • takut jauh dari orang tua
  • susah tidur
  • menurun prestasi sekolah
  • tantrum lebih sering

Jika trauma tidak ditangani, anak bisa tumbuh dengan rasa takut permanen terhadap lingkungan.


4. Cara Membantu Penyintas Secara Psikologis: Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan Semua Orang

Kabar baiknya, tidak semua bantuan psikologis harus dilakukan oleh profesional. Ada banyak langkah sederhana namun sangat membantu.

4.1 Dengarkan dengan penuh perhatian

Penyintas butuh ruang aman untuk bercerita. Jangan paksa, cukup hadir.

4.2 Validasi perasaan mereka

Kalimat seperti “Aku mengerti kenapa kamu takut” sangat membantu mereka merasa tidak sendirian.

4.3 Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi

Rasa aman fisik membantu memulihkan rasa aman emosional.

4.4 Dorong interaksi sosial ringan

Aktivitas bersama seperti memasak, bermain, atau sekadar duduk mengobrol membantu menciptakan rasa kebersamaan.

4.5 Anjurkan rutinitas sederhana

Makan teratur, tidur cukup, dan aktivitas ringan dapat menstabilkan pikiran.

4.6 Libatkan profesional bila perlu

Jika gejala berlangsung lebih dari sebulan, atau semakin parah, psikolog dan konselor menjadi sangat penting.

4.7 Gunakan pendekatan Psychological First Aid (PFA)

PFA adalah pendekatan standar global dalam dukungan psikologis pascabencana, meliputi:

  • memastikan keselamatan
  • menenangkan
  • mengumpulkan informasi kebutuhan
  • menghubungkan dengan dukungan
  • memulihkan rasa kendali

5. Peran Organisasi Kemanusiaan: Dari Logistik hingga Pemulihan Psikologis

Organisasi kebencanaan memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa bantuan tidak hanya fokus pada fisik tetapi juga mental.

Peran ideal organisasi kemanusiaan dalam aspek psikososial antara lain:

5.1 Memberikan layanan PFA (Psychological First Aid)

Relawan terlatih dapat membantu penyintas mengelola emosi awal.

5.2 Menyediakan ruang aman untuk anak-anak

Child-friendly space (CFS) sangat penting untuk mengurangi kecemasan anak.

5.3 Mengadakan kegiatan kelompok

Aktivitas sosial, seni, permainan, hingga sesi relaksasi bisa membantu pemulihan.

5.4 Edukasi kesehatan mental

Informasi yang tepat dapat mengurangi stigma.

5.5 Menjalin koordinasi dengan psikolog profesional

Agar kasus berat bisa ditangani secara tepat.

Organisasi yang memperhatikan pemulihan psikologis biasanya menunjukkan hasil jangka panjang yang jauh lebih baik bagi masyarakat terdampak.


6. Pentingnya Membahas Trauma Penyintas: Kenapa Ini Tidak Boleh Lagi Diabaikan

Ada alasan kuat kenapa topik ini akhirnya mulai mencuat dan dibicarakan dalam konteks kebencanaan modern:

6.1 Trauma memengaruhi masa depan

Orang dewasa bisa kehilangan produktivitas. Anak bisa kehilangan kepercayaan diri. Keluarga bisa kehilangan kemampuan menjalani kehidupan normal.

6.2 Trauma adalah bagian dari kemanusiaan

Tidak ada yang salah dengan mengalami trauma. Yang salah adalah ketika masyarakat membiarkan penyintas menanggungnya sendirian.

6.3 Mental health adalah bagian dari respon bencana modern

Standar internasional (Sphere, IFRC, WHO) sudah memasukkan kesehatan mental sebagai kebutuhan dasar.

6.4 Pemulihan emosional mempercepat pemulihan sosial

Ketika seseorang merasa aman secara emosional, mereka bisa bergerak maju lebih cepat.

6.5 Membahas trauma adalah bentuk penghormatan terhadap pengalaman penyintas

Dengan membahasnya, kita mengakui bahwa apa yang mereka alami itu nyata, berat, dan layak diperjuangkan penyembuhannya.


7. Luka yang Sunyi Itu Nyata, dan Kita Wajib Mengakuinya

Trauma psikologis para penyintas adalah luka yang sering terlihat dari perubahan perilaku, kecemasan, atau mimpi buruk, namun selama ini jarang benar-benar dibahas. Bencana mungkin berlangsung singkat, tetapi dampak emosionalnya bisa bertahan bertahun-tahun.

Dengan memahami psikologi penyintas, kita bukan hanya membantu mereka sembuh—kita juga menguatkan masyarakat, membangun ketahanan, dan memastikan bahwa setiap penyintas punya kesempatan untuk berdiri lagi tanpa membawa beban yang tidak terlihat.

Karena membantu trauma psikologis para penyintas bukan hanya soal memberi tenda, makanan, atau obat.
Tapi juga tentang memberikan ruang bagi hati dan jiwa mereka untuk pulih.


Berikut ini ada video menarik tentang

Dampak, Kesiapsiagaan, dan Pemulihan Psikologis Korban Bencana

dari channel Kanal Pengetahuan Fakultas Psikologi UGM

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version